Detik-detik menjadi Tuna Grahita, Dulunya Ingin Juara Satu Kelas
Karya: Dian Pujiastuti (Kelas XI MIPA-5, SMA Batik 1 Surakarta)
“Apakah sudah tuna grahita sejak lahir?” Satu pertanyaan yang sudah pasti menyambung percakapan bagi mereka yang belum mengenalnya. Ia dulu sangat ambisius ingin menjadi juara satu di kelas, sahutanku apabila berjumpa dengan kalimat tanya itu. Aku sebagai kakak tidaklah ingin membelanya. Ia pun tidak ingin dibela. Adikku yang masih bau kencur itu sekarang serupa balita, hanya memamrihkan satu hal, yaitu diperhatikan ketika bermain, tidak butuh dibela.
Denis Rino Alvino adalah nama adikku. Ia seorang laki-laki berusia sembilan tahun dari Dukuh Jatisari RT05/RW06, Desa Jatikuwung, Kabupaten Karanganyar itu tidak berkeinginan menjadi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Bahkan, sekadar melamun dan mengandai-andaikan diri menjadi ABK pun tidaklah pernah. Ia dulunya hanya suka berandai-andai menjadi juara satu atau terbaik di mana tempat, bukan menjadi seorang ABK. Karena keinginan besarnya itu, ia sangat ulet belajar. Iacerdas menghitung, membaca, melogika, dan berbicara. Kami sebagai keluarga percaya dan mendukung segenap keterampilan yang dimiliki. Tetapi, semesta ternyata enggan mendengar angan-angannya. Takdir yang dilalui justru umpama langit dan bumi.
Dusun Jatisari dan sepeda kumbang milik nenek menjadi saksi bisu pada peristiwa celaka yang mengakibatkan tempurung kepala pecah. Pukul 17.25 WIB, ketika bersepeda sore bersama teman-teman, adikku yang merupakan anak bungsu itu selalu berhasrat ingin menjadi nomor satu di antara yang lain. Haus sekali ia menjadi nomor satu dalam hal apapun. Tragis, kecelakaan tunggal di sebuah jalanan yang menurun curam terjadi. Sebab itu, tempurung kepala pecah dan berdarah. Tidak seorangpun menduga korban sedemikian parah, apalagi jatuh tergelincir sendiri dari sepeda ontel di jalanan kampung yang lengang kendaraan bermotor.
Ia segera dibawa ke klinik terdekat dan ditolak. Di sebuah rumah sakit daerah baru diterima, masuk di ruang ICCU. Sampai di penghujung malam, kesadarannya belum kembali.Bu Winarni, ibuku, terus menggenggam tangan kanannya. Sekalipun dalam keadaan tidak sadarkan diri, ia terus-menerus memberontak. Dan air mata masih terus meleleh, entah kapan air mata si bungsu kering. Yang pasti, tangan kanan akhirnya diikat. Ia memberontak, melentingkan lengan ke arah benda-benda di sekitar. Bahkan, selang infus dan oksigen ditarik sedemikian kuat. Perawat-perawat jaga pada malam itukelelahan memeganginya. Keputusan diikat menjadi solusi terakhir.
Dokter hanya meninggalkan pesan untuk ikhlas dengan apapun yang akan terjadi. Lelaki paruh baya berjas putih itu menjelaskan tentang kekutan dari doa dan pikiran positif. Perkataan sang dokter memang menentramkan dan merobohkan perasaan. Betapa perasaan kedua orang tuaku itu pecah mendengar kata kritis. Doa-doa tidak berhenti menghujani penutupan malam pada hari itu.
“Ayah tahu pasti sakit. Tapi, kamu anak yang kuat. Kamu ingin nomor satu dimana berada bukan? Buktikan kamu mengalahkan pertempuran yang menyakitkan ini. Sang juara pasti bisa.” Begitulah berulangkali ujaran ayahku disela-sela doanya. Bunyi Elektrokardiogram dan suara tangis ibu menyertai suasana hening dalam ruangan itu.
Ketika arunika telah sepenggalah naik, Bu Winarni, ibuku, belum tidur dan menyandarkan keningnya pada pembatas brankar. Satu-satunya jalan keluar hanya dengan mengoperasi kepala, jelas dokter setibanya di sana. Di rumah sakit itu tidak tersedia suntikan cairan penghancur darah yang ada di tempurung. Namun, setelah menghabiskan pagi dan siang, belum ada konfirmasi dari rumah sakit lain yang mau menerima rujukan. Alasannya, semua kamar penuh.
Membayangkan nyawa anak sebagai taruhan daripada menunggu kepastian yang tidak pasti, ayahku meminta untuk memindahkan sendiri ke rumah sakit lain. Dokter menahan tindakan itu atas dasar kondisi korban sedang kritis. Nyawa sangat bergantung pada alat-alat penunjang hidup itu.
Satu hari berselang, ia dipindahkan ke rumah sakit yang semula dikatakan penuh. Bibiku mempunyai kolega direktur rumah sakit tersebut sehingga diberi kamar inap. Aku yang masih berusia 16 tahun saja bisa merasakan marah, apalagi kedua orang tuaku yang kepalang sedih dengan jutaan kekhawatiran. Nyawa seperti bola pingpong yang dipermainkan.
“Sang juara pasti bisa mengalahkan pertempuran yang menyakitkan sekalipun.” Ujar ayah di dalam ambulan seketika menuju rumah sakit rujukan. Entah ia mendengarnya atau tidak, tapi, aku mendengarnya berulangkali. Dukungan ayah teramat tinggi mirip ambisiusnya berusaha jadi nomor satu di kelas. Di balik itu, aku merasakan kesedihan telah membanjiri seisi jiwa ayah. Suaranya berat seperti membendung letupan kesedihan.
Setelah tiga hari, kondisi kian membaik. Kemudian, kabar baik selanjutnya, dipindahkan di kamar perawatan umum. Ada kabar baik pun kabar buruk menyertai, biaya selama di ICCU harus dibayar lunas sebelum pindah. Ibu seketika mengambil uang yang berasal dari berhutang. Uang pinjaman ternyata tidak cukup, ayah segera mencari pinjaman lain. Setelah selesai, adik dipindahkan ke ruang rawat.
Setelah delapan hari, dokter memutuskan untuk membawa pulang. Aku kepalang heran, keadaan belum sadarkan diri namun dokter meyakinkan bahwa akan sembuh dengan sendirinya di rumah. Palu keputusan pun diketok, adikku pulang. Hingga satu tahu berselang, ia memang sembuh. Tapi ialupa dengan cara menghitung, cara membaca, cara bercanda, dan cara berbicara pokoknya aku yang harus nomor satu. Kemudian, satu tahun itu juga ia istirahat sekolah. Aku sering mengajaknya mengulang ingatan indah di tempat yang disuka.Ketika berjumpa seseorang lalu ditanya tentangnya, selalu kusahut dengan tegas bahwa ia dulunya ambisius ingin jadi juara satu di kelas, agar adikku mendengar dan ingat kalimat kesukaannya itu.